Prof Mujiburrahman
Oleh : Prof Mujiburrahman, Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Antasari Banjarmasin
POSBORNEO.COM – SEORANG aktivis mahasiswa yang baru saja wisuda menghadap saya. Dia datang ke saya, meminta maaf atas berbagai ucapan, tulisan hingga tindakan yang tergolong tidak etis bahkan kurang ajar yang telah dilakukannya.
“Sebelum kamu minta maaf, sudah saya maafkan. Andai saya tidak maafkan, dulu hasil sidang Dewan Etik sudah merekomendasikan agar kamu diberhentikan,” kata saya.
“Tetapi ada dosen yang tidak mau memaafkan saya,” katanya lagi.
“Itu juga pelajaran bagi Anda. Tidak semua orang yang kamu sakiti akan mau memaafkan,” kataku.
Entah kebetulan, entah memang kebiasaan, setiap momentum Idul Fitri, saya sering menerima permohonan maaf dari orang-orang tertentu melalui jalur pribadi, misalnya WhatsApp.
Padahal, saya mendapatkan informasi yang bisa dipercaya bahwa mereka itu melakukan berbagai hal yang tidak baik pada saya seperti mengkhianati di belakang, mengajak orang lain memusuhi saya hingga menebar informasi bohong alias fitnah.
Anehnya, orang-orang ini, tiba-tiba muncul dengan permohonan maaf di hari lebaran, tanpa menjelaskan apa saja ‘dosa-dosa’ mereka.
Secara formal saya mau memaafkan, tetapi tidak melupakan. Namun, saya khawatir jangan-jangan hal ini telah menjadi budaya kita. Lakukan saja kejahatan dan kezaliman pada orang lain sesukamu, nanti setelah itu, tinggal kirim pesan jalur pribadi meminta maaf pada momentum Idul Fitri.
Sudah bisa diprediksi, yang bersangkutan tentu akan memaafkan. Setelah itu, lakukan lagi apapun yang kau suka terhadapnya. Minta maaf kan gampang.
Apalagi dia itu naif, hanya pintar secara akademis, tetapi tidak paham politik. Begitukah? Wow, betapa mudah kata maaf dipermainkan!
Tak pernah kita terpikir, mengapa ada ungkapan “lahir dan batin”. Ironisnya, ucapan tersebut kita anggap sebagai sarana penghapus dosa pada sesama yang paling mudah, tanpa harus menyebutkan apa saja kesalahan yang sudah kita lakukan.
Fenomena mohon maaf yang sarat formalitas ini mungkin hanyalah satu di antara begitu banyak unsur-unsur dalam budaya kita yang, seperti kata Mochtar Lubis, berwatak munafik. Lain depan, lain belakang. Lain kata, lain perbuatan.
Orang merasa biasa dengan perilaku semacam itu. Kata sebuah hadis, ada tiga ciri orang munafik: jika bicara dia bohong, jika berjanji dia tidak tepati, jika diberi kepercayaan, dia berkhianat. Ketika tampak di depan mata, kata-katanya manis dan senyumnya menawan, tetapi diam-diam dia siapkan senjata untuk menikam kita dari belakang.
Anehnya, konon cara-cara munafik itu adalah strategi paling manjur di dunia politik, dunia menang-kalah dalam usaha mendapatkan dan memertahankan kekuasaan. Karena itu, para senior mendidik para junior bahwa politik artinya tipu-tipu, bahkan menghalalkan segala cara, yang penting menang.
Jangan bawa-bawa moral dalam politik. Urusan di sini bukan benar-salah, tapi menang-kalah. Perkara ada kesenjangan antara ucapan dan perbuatan, itu biasa. Dari politik akhirnya merambah ke seluruh lini kehidupan dan lapisan masyarakat. Kita akhirnya sulit untuk saling percaya.
Masyarakat yang para anggotanya saling curiga, adalah masyarakat yang sakit. Bagaimana pun, tidak enak jika kita selalu was-was dan curiga pada orang-orang yang kita temui, baik yang kita kenal ataupun tidak. Hubungan yang nyaman antar manusia tidak bisa terwujud tanpa rasa saling percaya.
Pada mulanya, biasanya manusia bisa saling percaya. Namun, sekali apalagi berkali-kali kepercayaan itu dikhianati, yang muncul adalah curiga. Setelah rasa percaya itu terkikis, kita pun hidup nafsi-nafsi, tidak saling peduli lagi. Kita menjadi transaksional. Aku kasih kamu ini, dan kau kasih apa ke aku?
Karena itu, Robert Putnam (1993) menegaskan dalam Making Democracy Work, demokrasi akan sehat jika dijalankan dalam masyarakat yang memiliki rasa saling percaya. Kelompok dan organisasi dengan latar belakang etnis dan agama yang beragam, dapat membangun rasa saling percaya itu jika masing-masing memiliki dua hal: ikatan ke dalam (bonding), dan jembatan (bridging) ke luar.
Dengan begitu, orang tidak akan fanatik buta pada kelompok atau organisasi karena dia percaya bahwa ada kepentingan bersama yang lebih besar, yang mengikat masyarakat secara keseluruhan.
Alhasil, jangan remehkan orang-orang yang suka mempermainkan ucapan minta maaf. Mereka adalah para perusak budaya, yaitu budaya saling percaya, menjadi budaya saling curiga. Ketulusan tidak hanya penting secara pribadi, tetapi juga secara sosial-budaya, yang pada akhirnya berdampak pada ekonomi dan politik.
Tak ada guna kita mengaku kembali kepada fitrah, asal mula diri kita yang sejati, yang baik, benar dan indah, tetapi dalam kenyataan, kita justru berperilaku sebaliknya!. (*)